Satu bilik dalam taman Maduganda, pernah tercipta indahnya derit ranjang tua. Desah manja dalam irama jiwa... Mengalunkan kidung katresnan, diantara dua rasa mencipta tembang smaradhana...
Senin, 14 November 2011
MISTERI GANDRUNG
Suluh-suluh meliuk tertiup sang bayu
Pendar temaram dalam pandangan sayu
Tebaran sampur-sampur menggeliat dalam ukelan
Gemulai sang dara janjikan senyum dalam kenikmatan
Hawa magis menyeruak memenuhi pelataran hening purnama
Senyap memuar memaksa raga menuntun sigrak irama
Pasi wajah wajah beringas beraroma air lena
Menantang gerak menyusut pipi yang merona
Ketika gelap semakin merambah
Do'a mantra sang sutradara kian menjamah
Alunan kempul seolah tabuhan tabla pemaksa
Mengiring jiwa-jiwa yang mabuk akan dosa
Sementara kepulan asap dari suluh-suluh kian membumbung
Ditengah hingar tawa pesorak, sang mimpi kian melambung
Lentuk egolan penari Gandrung mengemas pesona sesaat
Dimana susuk pemikat adalah rahasia keindahan pengikat
Nakula 14, 22.10.2011
KEMANA PERGINYA SANG DALANG
Tertunduk pada kebisuan waktu
Semakin tertunduk dan kian terpaku
Seperti menunggu suluh dipadamkan
Saat gunungan terakhir dikibarkan
Sang dalang telah memangkas purna carita
Sebelum usai seluruh kisah dilakonkan
Meraba dinding beku dalam buta
Menjelujur langkah tanpa tongkat penuntun dan pemapah beban
Lalu apa bisa wayang wayang bergerak dengan sendiri
Sedang berdiri pun atas kehendak sang dalang dengan kesepuluh jari
Panggung tinggallah panggung
Dan sang dalang tak hendak mempertontonkan punggung
Gelap merapat, suluh- suluh telah terpadam
Setiap wayang tak menyimpan dendam
Karna ini hanya sebuah lakon kehidupan
Dimana setiap tokoh hanya sebagai pemeran
Lagi-lagi ilusi yang bermain
Mengikuti perkusi dari setiap nada yang berlain
Jemari hati telah menulis kisah atas sebuah cerita
Namun kembali sang dalanglah yang menuntas berita
Akankah kisah usai dengan apik
Bila sang dalang memangkas seluruh epik
Lalu kemana perginya sang dalang
Wayang-wayang hanya tertinggal dalam kotak bisu yang tak terang
Nakula 14, 31.10.2011
SATU BILIK DALAM TAMAN MADUGANDA
Deritnya pernah terdengar begitu merdu
Para-para pun ikut tergetar sendu
Kini suaranya telah menjadi lagu terasing
Bukan tak sudi ataupun ingin berpaling
Cengkerama mesra kala candikala
Telah menjadi sandiwara dengan pembatas tebal
Dinding aturan telah pula mengikat menjadi sumpal
Serapah yang tersisa menyimpan isak disimpang sang kala
Senda punakawan pun pernah menghibur ceria
Bukan hanya senyum namun tawa jenaka
Kini beringsut menjadi bilur perih
Pada iramanya terdengar sayatan nyeri melirih
Pun senja jingga diujung hari
Pernah menyimpan segudang rindu ditepian sungging mentari
Pernah pula indah temaramnya
Kala pelangi menghias usai gerimis menghampiri rembahnya
Masih terasa begitu menyatu
Saat panah menembus jantung kenikmatan
Dimana lembut desah melingkup waktu
Mendendang irama hujan menuntas kepuasan
Satu bilik dalam taman Maduganda
Saksi abadi terciptanya sebuah nelangsa
Sebelum nahkoda terhempas badai persada
Setelah sang awak tenggelam dalam peluh luka rasa
Inspire, PANAH SRIKANDI
Nakula 14, 30.10.2011
ANAK WAYANG DI AMBANG GAMANG...
Pernahkah kalian dengar tentang Rahwana..?
Sang angkara si Dasamuka,
Pernahkah terlintas bagaimana hatinya
Sesungguhnya dialah sang Pujangga
Dia pula Sang pecinta sejati
Wajahnya jamak serupa hitungan jari
Namun hatinya setia tak terbagi
Shinta...
Idaman hati yang tak termiliki
Aroma kental ini berjejal kian bengal sungguh,
Ada syak membebat kian rapat dalam jiwa yang rapuh,
Alunan nada itu, membawaku kian jauh,
Terhanyut dalam nuansa berjuta makna nan gaduh,
Taman madu gandamu menebar seribu pesona,
Tempatkan aku dsudut bilikmu yang remang
Kuhanya mampu mengintipnya dari balik jendela panjang,
Masih.. masih kau sekap aku dsana,
Sesekali para punakawan berbalas kelakar mencipta tawa,
Terkadang, kututup bibirku menahan gelegak agar tak membahana
Acap pula hati tergelitik bersaur nada serupa..
Namun tertahan demi tergenggamnya asa,
Duuh sang pemilik candrasa dan sokayana,
Terkadang aku berharap engkau pula pemilik gandewa..
Meski dunia kita berpijak tidaklah pernah semasa,
Namun cerita pastilah ada babaknya..
Hangus mungkin,
Satu lembar episode dimana kita bertemu,
Hingga kisah terputus tanpa ada pemandu,
Nalar...
Takkan pernah mampu tersentuh,
Hingga kita tersesat dalam rangkaian asmara semu...
Tak apalah,
Semua bebas berkata,
Kata hati hanya diri yang memiliki,
Pada siapa dia ingin hadap dan berdiri
Aq pun tak hendak menentang nurani,
Lagi lagi sebuah catatan sederhana
Sekedar merunut tepian hati,
Dimana segala rasa terbingkai didalamnya,
Mungkin hanya menghibur diri,
Berusaha bercanda dengan bayangan cermin di seberang sana...
Nakula 14, 21.09.2011
SRIKANDI OBONG.....
Diamku bukan tanpa kemarahan
Diamku adalah menahan geraman
Laungku bukan tanpa kesabaran
Laungku karna ada letupan
Aaaaarrrggggggghhh........
Aku bukan Sri Rama yang selalu tersenyum ramah
Bukan pula Yudhistira yang selalu diam dan pasrah
Sri Kresna pun pernah meluap amarah pada Bhisma
Kurusetra pernah menjadi padang noda arifnya kusir Ardjuna
Bila Cakra Sri Kresna pernah berputar
Maka dawai Gandewaku pun kini mulai tergelar
Ujung panah tengah berputar hingar
Ketika lentingan busur regang bergetar
Dan aku hanya Srikandi
Amarahku pernah tak terhenti
Kesabaranku tengah di ujung belati
Dan kini sebuah tusukan tepat di pusat nadi
Menahan amarah dari ledakan diri
Seperti menantang mentari ditengah hari
Kobaran hati semakin berapi
Hooee...........aku perlu pemadam api...!!!!
Nakula 14, 22.10.2011
PRAHARA KURUSETRA....
Telah tergaris bahwa Kurusetra adalah padang pemisah
Ajang perang saudara dengan darah yang harus tersimbah
Luapan emosi dan kesedihan dengan tangis tertumpah
Pun tipu daya diseling sumpah serapah
Drupadi, kutuknya tak terelak oleh Dursasana
Drona pun meratap akan kematian Aswatama
Bima, harus rela memapah Tetuko dengan sebah didada
Sedang Subadra dengan penyesalan mengapa harus tertidur ditengah cerita
Lalu kisah cinta dan prahara...
Banowati dipersimpangan luka dan lara
Berharap setengah kemenangan Duryudana
Ataukah harap akan kemenangan cinta sang Arjuna
Sementara Amba tengah menyelinap pada sukma Srikandi
Dan pada raganya dendam telah merapat menjadi kode dan sandi
Hanya sang Resi yang mampu menerjemah dan mengerti
Jiwa tersalib raga pun serasa tiada berarti
Satu sisi hati berperang melawan sisi lainnya
Sang Wara terkungkung dalam derita hatinya
Meraung dibibir tenda, pasi meratapi dalamnya duka
Sungguh batinnya tercabik namun hatinya membara dengan nganga luka
Bhismaaaaaaaaaaa.............
Telah kuputihkan mataku dan telah kurenggutkan cintaku,
Aku meraung bersebadan dengan lukaku
Lihatlah....lihatlah aku wahai Resiku...
Aku terhempas dipadang demurca, ternoda di kurusetra...
Ingin kulaung seribu kali namamu,
Ingin kuteriak pada selaksa mega...
Bhismaaaaaaaaaa.............
Lihatlah aku wahai Resiku,
Terlunta cintaku diatas hamparan jiwa-jiwa tanpa dosa
Terhempas Asaku pada sukma-sukma diregang gejolak nafsu angkara
Sesungguhnya meronta nuraniku tanpa rasa
Sungguh pula kutahan gelora api asmara
Bhismaaaaaaaaa..............
Telah kuhisap candu dari sulut api peperangan
Kuhisap dalam-dalam racun dari arena pembantaian
Angkuhmu sungguh melumat rasaku
Dan kini singgasana kemenangan tengah pongah meliuk dimataku
Bhismaaaaaaaa...............
Tatap aku wahai Sang Resi,
Mengapa harus tertunduk dan terdiam,
Tidakkah sorotmu mampu menatap dalam kelam,
Atau lukamu pun begitu dalam
Hingga smaradhana hanya terlantun kala temaram
Rembah telah memerah,
Raga rebah memendam amarah,
Terlarung jiwaku pada samudra tanpa tepian
Gelisah sukmaku haus akan darah dan kematian
Sedang ujung panah terlunta tak menuntas pada tujuan
Bukan....bukan diammu yang aku harapkan,
Tidak juga bungkammu yang menuntas peperangan,
Namun kesumat kita yang berkepanjangan
Sementara dalam hati masih berkumandang kidung katresnan....
Kurusetra,
Oooh Kurusetra.......
Hingarmu adalah amarahku,
Dan diammu adalah jiwa Resiku.....
Nakula 14, 09.11.2011
KURUSETRA......
Sederet nazar telah menanti,
Sayapnya terkepak seolah tepukan tangan
Cecar riuhnya bak sorak penonton
Paruhnya saling memagut seakan seteru yang terlontar
Disini, sang Begawan suci tengah melarung cintanya
Sang dewi pujaan tengah menyabung nyawa mengorbankan jiwa
Amba sang penguasa hatinya telah hidup kembali dengan sosok berbeda
Seorang wara, dengan wajah setengah tengadah, tengah mendongak menantangnya
Lalu apa hendak dikata,
Ketika wajah lain Begawan Mintaraga telah meniup sangkakala perangnya
Terlarung sudah kerinduannya, telah dimatikan seluruh kisah smaradhananya
Tiada lagi tembang katresnan yang pernah mengalun bisu digemuruh dadanya
Sang resi kini pasrah akan kematian,
Nyawa telah terserah pada pemilik seluruh hati
Bukan kemegahan ataupun mutlaknya sebuah kemenangan
Namun indahnya kematian akan menjadi sebuah kenikmatan
Bara dalam dada sang dewi begitu bergelora,
Rindu dendam yang begitu mengusik ketenangan arwahnya
Bukan kemerdekaan akan kuasa sebuah tahta
Namun luruhnya jiwa, menyatunya raga yang didamba
Bhisma, sang Begawan suci,
Resi dari sejatinya resi
Manatap pasi pada wajah-wajah pewarisnya
Telah disadarinya makna Bharatayudha
KURUSETRA,
Sesungguhnya tak lebih sebuah perang harga diri
Sesungguhnya tak lebih sebuah perang dua hati
Dendam asmara yang tersulut hingga seribu kelahiran
Reinkarnasi akan sebuah dendam dari keinginan tak berkesudahan
KURUSETRA,
Sesungguhnya siapa pemenang dari semua ini,
Pandawakah..?
Drupadikah…?
Atau Srikandikah…?
Bahkan Sri Kresna pun bukanlah pemenangnya….
SRIKANDI DIBATAS SUNYI
Nakula 14, 29.05.2011
Langganan:
Postingan (Atom)