Jumat, 29 November 2013

KIDUNG MALAM WANA KAMIYAKA

KIDUNG MALAM WANA KAMIYAKA

Kakang Bima,
Sungguh telah terlebur oleh ku akan kesumat nan menghujam jiwa
Serasa kalbu ini berguncang tatkala amarah melumat rasa
Namun hati ini jua terkungkung penjara sukma
Ketika teduh tatapmu menyapu lembut liuk bibir dan raga

Malam ini rembulan begitu penuh,
Tatapnya pun begitu teduh
Arakan mega sedikit pun tak nampakkan muram
Dan langit gemilang tanpa kelam

Kakang Bima,
Sekali pun rimbun pepohonan menaung peraduan kita
Dan lebat hutan telah menenggelamkan bayang raga
Namun tak sehelai pun sanggup menghalang purnama tuk jatuhkan kecupnya pada bumi
Seperti kidung cinta ini....

Kidung malam wana Kamiyaka
Terkulum pesona seribu anggunnya cinta
Dimana desah kita adalah lantun indah pengiring serangga malam
Dimana puja asmara meluluhkan jengkaljengkal rindu jua dendam

Kakang Bima,
Disini kulabuhkan segala keinginan
Ketika hangat sentuhmu menggetar dinding peraduan...

Arimbi,
Dengarlah lamat suara malam,
Tidakkah kau rasa gairahku berguncang tajam

Mari sini.....
Bersandarlah di bidang dada ini yayi,
Biarkan purnama menyatukan dahaga jiwajiwa kita
Tuntaskan letupletup bara dalam malam wana Kamiyaka
Nakula 14, 19.102.13
 

Kamis, 29 Desember 2011

~~~~~AKU DAN KAMU~~~~~ (Bernyanyilah Bagai Waktu Dulu)


~~~~~AKU DAN KAMU~~~~~
(Bernyanyilah Bagai Waktu Dulu)

Rintik hujan sore mengguyur bumi
Jentik daun berulang bak tarian jari
Semalam kukemas hingarmu dalam sanubari
Sembari menanti datangnya musim semi

Kerinduanku begitu dalam
Merentang waktu dan ruang diantara kita
Betapa rasa ini tak mampu kunista
Begitu keras laungku menggeram

Semalam tlah kudengar alunmu
Mendendang satu bait dari lagu kita
Semalam pula telah lekat wajahmu
Berayun nostalgi dalam puisi cinta

Bernyanyilah bagai waktu dulu
Seperti saat kita masih bersama
Meretas mimpi menjalin asa lalu
Meriuhkan waktu melalui indah irama

Bernyanyilah bagai waktu dulu
Jentikkan jemarimu pada dawai gitar
Rasakan hadirku meski dalam kelu
Dan lihatlah matakupun tengah berbinar

Antara aku dan kamu
Telah terhampar ribuan ruang dan waktu
Bukan terpisah hanya tersekat sebuah dinding semu
Sabarlah menanti kerinduan ini bukanlah batu......

Nakula 14, 12.12.2011

Senin, 14 November 2011

MISTERI GANDRUNG


Suluh-suluh meliuk tertiup sang bayu
Pendar temaram dalam pandangan sayu
Tebaran sampur-sampur menggeliat dalam ukelan
Gemulai sang dara janjikan senyum dalam kenikmatan

Hawa magis menyeruak memenuhi pelataran hening purnama
Senyap memuar memaksa raga menuntun sigrak irama
Pasi wajah wajah beringas beraroma air lena
Menantang gerak menyusut pipi yang merona

Ketika gelap semakin merambah
Do'a mantra sang sutradara kian menjamah
Alunan kempul seolah tabuhan tabla pemaksa
Mengiring jiwa-jiwa yang mabuk akan dosa

Sementara kepulan asap dari suluh-suluh kian membumbung
Ditengah hingar tawa pesorak, sang mimpi kian melambung
Lentuk egolan penari Gandrung mengemas pesona sesaat
Dimana susuk pemikat adalah rahasia keindahan pengikat

Nakula 14, 22.10.2011

KEMANA PERGINYA SANG DALANG


Tertunduk pada kebisuan waktu
Semakin tertunduk dan kian terpaku
Seperti menunggu suluh dipadamkan
Saat gunungan terakhir dikibarkan

Sang dalang telah memangkas purna carita
Sebelum usai seluruh kisah dilakonkan
Meraba dinding beku dalam buta
Menjelujur langkah tanpa tongkat penuntun dan pemapah beban

Lalu apa bisa wayang wayang bergerak dengan sendiri
Sedang berdiri pun atas kehendak sang dalang dengan kesepuluh jari
Panggung tinggallah panggung
Dan sang dalang tak hendak mempertontonkan punggung

Gelap merapat, suluh- suluh telah terpadam
Setiap wayang tak menyimpan dendam
Karna ini hanya sebuah lakon kehidupan
Dimana setiap tokoh hanya sebagai pemeran

Lagi-lagi ilusi yang bermain
Mengikuti perkusi dari setiap nada yang berlain
Jemari hati telah menulis kisah atas sebuah cerita
Namun kembali sang dalanglah yang menuntas berita

Akankah kisah usai dengan apik
Bila sang dalang memangkas seluruh epik
Lalu kemana perginya sang dalang
Wayang-wayang hanya tertinggal dalam kotak bisu yang tak terang

Nakula 14, 31.10.2011

SATU BILIK DALAM TAMAN MADUGANDA


Deritnya pernah terdengar begitu merdu
Para-para pun ikut tergetar sendu
Kini suaranya telah menjadi lagu terasing
Bukan tak sudi ataupun ingin berpaling

Cengkerama mesra kala candikala
Telah menjadi sandiwara dengan pembatas tebal
Dinding aturan telah pula mengikat menjadi sumpal
Serapah yang tersisa menyimpan isak disimpang sang kala

Senda punakawan pun pernah menghibur ceria
Bukan hanya senyum namun tawa jenaka
Kini beringsut menjadi bilur perih
Pada iramanya terdengar sayatan nyeri melirih

Pun senja jingga diujung hari
Pernah menyimpan segudang rindu ditepian sungging mentari
Pernah pula indah temaramnya
Kala pelangi menghias usai gerimis menghampiri rembahnya

Masih terasa begitu menyatu
Saat panah menembus jantung kenikmatan
Dimana lembut desah melingkup waktu
Mendendang irama hujan menuntas kepuasan

Satu bilik dalam taman Maduganda
Saksi abadi terciptanya sebuah nelangsa
Sebelum nahkoda terhempas badai persada
Setelah sang awak tenggelam dalam peluh luka rasa

Inspire, PANAH SRIKANDI

Nakula 14, 30.10.2011

ANAK WAYANG DI AMBANG GAMANG...


Pernahkah kalian dengar tentang Rahwana..?
Sang angkara si Dasamuka,
Pernahkah terlintas bagaimana hatinya
Sesungguhnya dialah sang Pujangga

Dia pula Sang pecinta sejati
Wajahnya jamak serupa hitungan jari
Namun hatinya setia tak terbagi
Shinta...
Idaman hati yang tak termiliki

Aroma kental ini berjejal kian bengal sungguh,
Ada syak membebat kian rapat dalam jiwa yang rapuh,
Alunan nada itu, membawaku kian jauh,
Terhanyut dalam nuansa berjuta makna nan gaduh,

Taman madu gandamu menebar seribu pesona,
Tempatkan aku dsudut bilikmu yang remang
Kuhanya mampu mengintipnya dari balik jendela panjang,
Masih.. masih kau sekap aku dsana,

Sesekali para punakawan berbalas kelakar mencipta tawa,
Terkadang, kututup bibirku menahan gelegak agar tak membahana
Acap pula hati tergelitik bersaur nada serupa..
Namun tertahan demi tergenggamnya asa,

Duuh sang pemilik candrasa dan sokayana,
Terkadang aku berharap engkau pula pemilik gandewa..
Meski dunia kita berpijak tidaklah pernah semasa,
Namun cerita pastilah ada babaknya..

Hangus mungkin,
Satu lembar episode dimana kita bertemu,
Hingga kisah terputus tanpa ada pemandu,

Nalar...
Takkan pernah mampu tersentuh,
Hingga kita tersesat dalam rangkaian asmara semu...

Tak apalah,
Semua bebas berkata,
Kata hati hanya diri yang memiliki,
Pada siapa dia ingin hadap dan berdiri

Aq pun tak hendak menentang nurani,
Lagi lagi sebuah catatan sederhana
Sekedar merunut tepian hati,
Dimana segala rasa terbingkai didalamnya,
Mungkin hanya menghibur diri,
Berusaha bercanda dengan bayangan cermin di seberang sana...

Nakula 14, 21.09.2011

SRIKANDI OBONG.....


Diamku bukan tanpa kemarahan
Diamku adalah menahan geraman
Laungku bukan tanpa kesabaran
Laungku karna ada letupan

Aaaaarrrggggggghhh........
...
Aku bukan Sri Rama yang selalu tersenyum ramah
Bukan pula Yudhistira yang selalu diam dan pasrah
Sri Kresna pun pernah meluap amarah pada Bhisma
Kurusetra pernah menjadi padang noda arifnya kusir Ardjuna

Bila Cakra Sri Kresna pernah berputar
Maka dawai Gandewaku pun kini mulai tergelar
Ujung panah tengah berputar hingar
Ketika lentingan busur regang bergetar

Dan aku hanya Srikandi
Amarahku pernah tak terhenti
Kesabaranku tengah di ujung belati
Dan kini sebuah tusukan tepat di pusat nadi

Menahan amarah dari ledakan diri
Seperti menantang mentari ditengah hari
Kobaran hati semakin berapi
Hooee...........aku perlu pemadam api...!!!!

Nakula 14, 22.10.2011